Tiga Penyebab Tiga Solusi
(Pemikiran Awal Untuk Pemulihan Kekristenan di Indonesia)
(Edi Suranta Ginting)
-----------------------------------------------------------------------------------
Pendahuluan
Gambaran kekristenan di Indonesia yang mengalami kemunduran
sudah secara umum dapat diterima oleh para pemimpin gereja di Indonesia. Secara
kuantitas, 12 kantong Kristen di Indonesia, mulai dari Papua hingga ke Nias
sudah mengalami penggerusan. Secara kualitas, kita pun harus mengakui bahwa
peran dan partisipasi orang Kristen di tengah-tengah bangsa dan negara ini
semakin terpinggirkan.
Oleh karena itu, berbagai pihak mencoba menawarkan solusi.
Ada gerakan Transformasi yang digagas oleh Dr. Iman Santoso. Gerakan ini
mencoba mendorong gereja untuk mentransformasi diri guna dapat tampil lebih
efektif lagi di dalam pelayanan. Ada juga yang berusaha dengan meningkatkan
pelayanan penginjilan dan pelayanan kebangunan rohani. Ada juga upaya untuk meningkatkan pengajaran
terhadap jemaat.
Saya kira, apapun solusi yang ditawarkan adalah baik dan
perlu didoakan agar diberkati oleh Tuhan. Beragam solusi adalah gambaran
beragama corak dan karakter orang percaya dan sekaligus juga beragam persoalan yang dihadapi oleh gereja.
Sebagai orang yang bergerak di pendidikan teologi, khususnya
teologi sejarah gereja dan sekaligus juga sebagai praktisi gereja, maka saya memiliki solusi juga untuk
ditawarkan. Saya akan mulai dengan melihat tiga faktor penyebab dan menawarkan
juga tiga solusi.
Tiga Penyebab
Kemerosotan
Studi awal saya tentang penyebab kemerosotan kekristenan di
Asia menunjukkan ada tiga faktor penyebab.
Ketiga faktor ini relevan dengan kondisi yang saya amati di Indonesia.
Satu, tidak memberitakan Injil karena bertentangan dengan
peraturan negara dan bertentangan dengan keinginan masyarakat mayoritas. Di
tengah-tengah komunitas yang bukan Kristen, maka misi Kristen menjadi perhatian
dari kelompok mayoritas dan penguasa. Banyak gereja di Timur Tengah mengalami
kemerosotan yang hebat karena dilarang untuk memberitakan Injil.
Secara faktual, orang Kristen di Indonesia pun sebenarnya
dilarang untuk memberitakan Injil. Kita bisa melihat bahwa bila ada orang yang
menjadi percaya kepada Injil dan bersedia menjadi Kristen, maka masyarakat akan
bereaksi keras. Bahkan tidak jarang, orang yang memberitakan Injil
dipenjarakan.
Kondisi ini mendorong gereja untuk mengevaluasi diri dan
mengevaluasi panggilan untuk mengabarkan Injil. Sebagian gereja mengubah makna
mengabarkan Injil dengan makna baru yaitu menghadirkan syalom di tengah-tengah
lingkungan. Inilah saya kira yang akan
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kekristenan akan semakin berkurang
dan akhirnya lenyap.
Dua, orang Kristen lebih miskin dan lebih bodoh daripada
orang lain. Kasus ini terjadi di Persia ketika bangsa Mongol berkuasa. Seorang utusan Roma datang
berkunjung ke Persia dan mengajak gubernur Persia yang orang Mongol untuk menjadi Kristen. Inilah jawaban sang
gubernur sembari mengajak utusan Roma melihat ke beberapa wilayah Persia, “Anda
lihat kumpulan orang Kristen yang lemah, bodoh, tak punya semangat hidup dan
menjadi beban negara. Apakah Anda menawarkan saya untuk menjadi seperti
mereka?”
Sekarang ini, tiga provinsi termiskin di Indonesia adalah
provinsi ‘Kristen’ yaitu Papua, Maluku, dan Timor. Beberapa kasus orang Kristen
meninggalkan iman Kristen adalah karena hidup mereka yang miskin. Kemiskinan
menjadi salah satu faktor penyebab orang Kristen Indonesia meninggalkan iman
mereka.
Tiga, tidak berakar dalam budaya. Ada dua kasus menarik yang
berhubungan dengan ini. Nestorianisme adalah gereja yang berkembang pesat sejak
abad ke-7. Akan tetapi, gereja ini nonkontekstual, karena berpusat pada budaya
Siria. Semua unsur-unsur gereja bersifat Siria, mulai dari bahasa liturgi
hingga ke bangunan gereja. Ketika terjadi konflik di Cina, maka penguasa Cina
menutup diri terhadap bangsa-bangsa asing. Orang Kristen Cina menghadapi
dilema. Akhirnya, mereka menerima Cina dan meninggalkan agama Kristen.
Kasus kedua adalah Gereja Armenia. Gereja Armenia menghadapi
serangan dan tekanan yang hebat dari negara-negara Islam. Akan tetapi mereka
dapat bertahan dan bahkan hingga hari ini mereka dapat bertahan. Mengapa mereka
bisa bertahan? Beberapa ahli memberikan alasan karena orang Armenia dan Kristen
sudah menyatu.
Kekristenan Indonesia pada umumnya adalah kekristenan yang
nonkontekstual. Bapa Reformasi menegaskan bahwa iman dan budaya adalah dua
dunia yang berbeda yang tidak mungkin bisa menyatu. Keduanya bagaikan rel
kereta api yang terus berjalan berdampingan tetapi tidak berjumpa.
Tiga Solusi
Untuk memulihkan kembali kekristenan Indonesia, saya
menawarkan tiga solusi dengan semangat kontekstualisme.
Satu, menjadikan Tuhan Yesus dan agama Kristen sebagai pusat
kehidupan dan tujuan kehidupan. Untuk mencapai hal itu, maka setiap orang
Kristen harus mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus dan mengalami
kasih-Nya yang nyata di dalam kehidupan setiap hari. Dengan melihat pada
pengalaman Gereja Mula-mula, maka orang yang mengasihi Tuhan Yesus akan
senantiasa bersaksi tentang Tuhan Yesus dan rela menanggung risiko atas
kesaksiannya tersebut.
Orang Kristen yang mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan
Yesus akan mengalami pula pembaruan hidup. Pembaruan hidup itu akan berdampak
pula pada pembaruan sosial dan ekonomi. Contoh kehadiran Pietisme di Indonesia
pada pertengahan abad ke-19 adalah bukti nyata. Orang-orang Karo mengenal
sekolah, teknik pertanian, kesehatan, dan keterampilan adalah dari para
misionari yang datang ke Tanah Karo.
Jadi, dengan solusi pertama ini, faktor penyebab satu dan
dua sudah dapat diatasi.
Dua, meritualkan kekristenan. Kekristenan kita sekarang ini
kebanyakan adalah kekristenan konsep yang abstrak. Padahal, bagi orang
Indonesia pada umumnya, hal-hal yang berhubungan dengan agama itu diupacarakan.
Upacara adalah bentuk hormat seseorang kepada alam dan kepada Tuhan. oleh
karena itu, kekristenan sekarang harus dievaluasi dan mempertimbangkan unsur
ritual yang lebih sesuai dengan konteks budaya.
Tiga, mengembangkan sakralitas. Sakralitas adalah bentuk budaya
yang menghormati Yang Mahakuasa dan pengejawantahannya di dunia ini. Oleh
karena itu, sesuatu yang berbeda yang dipandang sebagai gambaran yang ilahi
akan diperlakukan secara berbeda atau dalam bahasa budaya dikeramatkan.
Dalam kekristenan, Allah dipandang dan diterima sebagia Yang
Mahakudus atau yang mahakhusus yang berbeda dengan ilah-ilah yang ada di dunia
ini. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah pun dikhususkan pula, seperti orang
yang percaya kepada-Nya disebut orang
kudus, tempat berjumpa dengan-Nya pun disebut tempat yang kudus, hari untuk
beribadah kepada-Nya disebut hari yang kudus.
Kekristenan sekarang ini hampir mengabaikan nilai-nilai
sakralitas kekristenan. Oleh karena itu, rasa hormat dan takut orang Kristen
terhadap Tuhan pun semakin menipis. Oleh karena itu, usulan saya ialah supaya
gereja kembali menegakkan sakralitas kekristenan, seperti menguduskan hari
Sabat, menyebut nama Tuhan Yesus dengan hormat, memperlakukan Alkitab dengan
khusus, dan lain-lain.
Penutup
Arnold Toynbe mengatakan bahwa orang atau masyarakat yang
bisa bertahan ialah orang atau masyarakat yang bisa menghadapi
perubahan-perubahan. Bila kekristenan kita sekarang ini mengalami kemerosotan,
maka sikap yang semestinya ialah mengevaluasi pola pembinaan dan pola pengajaran
yang kita lakukan dan bersedia untuk mengubah diri.
Kita harus bersedia untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Mari kita evaluasi penyebab kemunduran kita dan mempertimbangkan dengan seksama
solusi untuk pemulihan. Pertimbangan yang seksama atas solusi pemulihan
dilanjutkan dengan keberanian untuk mencoba sembari terus menyediakandiri untuk
mengevaluasi pembaruan yang dilakukan.
Kiranya Tuhan Yesus menolong dan memberkati usaha dan
pemikiran kita. (esg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar