Mejuah-juah.  Selamat datang di blog sederhana kami: "Gereja Injili Karo Indonesia.   Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI) adalah gereja yang mengintegrasikan INJIL dan budaya KARO, dengan membina sentralitas, sakralitas, dan ritualitas iman.   2K(KK): Kristus dan Karo! Kami mencintai Kristus dan Karo; Kami menyembah Kristus dengan budaya Karo.   Syalom ras Mejuah-juah man banta kerina... Adi Tuhan Yesus sijadiken palas bas tengah-tengah geluhta, maka megegeh kita mbentasi kegeluhen enda aminna pe lit kalisunggung i lebe-lebenta .... adi megermet kita kerna budayanta, maka meriah katawari pe ukurta sebab enterem temanta si banci nampati kita...Syaloom mejuah-juah. Tuhan Yesus memberkati.

5 Mar 2013

Metami, Metenget, Mehamat


Metami, Metenget, ras Mehamat : Dasar Hubungan Kekerabatan Masyarakat Karo

(Edi Suranta Ginting)

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Pendahuluan

Sudah cukup lama saya mendengar bahwa sudah terjadi pergeseran sikap masyarakat Karo, khususnya dalam pelaksanaan acara pesta adat. Beberapa teman yang berkunjung ke kampung halaman mengeluhkan sikap anak beru mereka dengan mengatakan, “Keri kita ban anak berunta ndai.” Yang lain lagi mengatakan, “Labo terjeng keri, tapi melakal siakap ban anak berunta e.” Teman-teman ini merasa dirugikan dan dipermalukan karena pada waktu persiapan pesta sudah disediakan cukup banyak daging untuk menjadi gulai pesta, tetapi pada saat makan, ternyata konsumsi tidak cukup.

Itulah sebabnya, beberapa orang merasa adanya ‘catering’ sebagai solusi. “Gundari enggo sikap. Enggo lit ‘catering’ maka lanai kita mbiar terluda. Anak beru e pe lanai pang macam-macam,” kata beberapa orang Karo yang ada di Medan sekitarnya dan kata orang-orang Karo yang berkunjung ke kampung untuk urusan pesta adat.

Karena penasaran dengan hal itu, suatu kali, ketika ada acara adat di Medan, saya memang merasakan kurangnya keterlibatan anak beru dalam mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan acara adat yang saya ikuti. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan, saya bertanya kepada seseorang yang rajin dalam mengikuti acara-acara adat, “O Bang, kubegi beritana maka bas kutanta enda enggo mesera kal muat anak beru guna nampati kerja?”

“Bagekin, lanai bo terarapken gundari enda anak beru ngelakoken kerja,” jawabnya dengan wajah yang agak prihatin.

Saya bertanya lagi, “Engkai akapndu maka bage?”

“Perban kalimbubu e la mehuli man anak beruna.”

“Tapi kuidah kam la erleja-leja ndahiken kerja i jabu mama enda,” tanya saya lagi karena memang saya melihat dan banyak orang juga mengakui bahwa dia dan istrinya sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan acara-acara di tengah-tengah keluarga yang kami bersama-sama sebagai anak beru.

“Mama enda nai seh kap ulina man kami, enge erbahanca maka kami pe ras kakandu lo ngadi-ngadi ndahiken kerja kalimbubunta e.”

Dari pengamatan dan diskusi di atas, saya melihat bahwa pergeseran sikap orang Karo dalam pelaksanaan acara adat adalah karena ‘mencairnya’ hubungan antarsaudara di tengah-tengah masyarakat Karo. Padahal, di balik tugas dan tanggung jawab acara adat, leluhur kita yang sangat arif dan bijaksana telah merumuskan ‘roh atau spirit’ yang harus mewarnai hubungan itu dengan ungkapan metami man anak beru, metenget ersenina, ras mehamat erkalimbubu. Bagian inilah yang akan saya bahas di bawah ini dan bagaimana ajaran Tuhan Yesus dapat mengisi spirit itu, sehingga relasi sosial orang Karo dapat dipulihkan bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus dan kejayaan masyarakat Karo di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia.

Metami Man Anak Beru

Kata metami secara harafiah berarti memanjakan. Biasanya, kata ini dipakai pada orangtua yang memperlakukan anak-anaknya dengan sangat baik. Atau juga, sikap seseorang yang suka memberi kepada orang lain. Setahu saya, kata metami berkaitan dengan tindakan yang suka memberi; memberi perhatian atau memberi sesuatu kepada orang lain.

Anak beru bukanlah anak perempuan, melainkan orang atau keluarga yang mengambil anak perempuan. Oleh karena itu, keluarga laki-laki harus metami kepada keluarga yang mengambil anak perempuan mereka. Kalau kita perhatikan istilah ‘Dibata Niidah’ yang disampaikan oleh anak beru kepada kalimbubunya, itu adalah karena kalimbubu menjadi sumber kehidupan bagi mereka. Kalimbubu yang memberi wanita (yang melahirkan generasi baru), tanah (tempat tinggal dan tempat berusaha), benih tanaman dan benih unggas (modal usaha), tempat tidur, alat masak, parang, cangkul (sarana untuk menunjang kehidupan yang lebih baik).

Leluhur kita memberi tugas metami kepada anak beru mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Satu, karena kalimbubu yang empunya tanah dan kekayaan, sedangkan anak beru adalah pendatang ke kampung kalimbubu. Kedua, supaya anak beru menyayangi anak wanita yang mereka kasihi. Ketiga, supaya anak beru kuat untuk menjadi penolong, pembela, dan penopang keluarga kalimbubunya.

Sikap metami kepada anak beru sudah diperlihatkan sejak dini. Misalnya, seorang wanita yang sedang hamil 7 bulan yang akan diupacarai oleh kalimbubu dengan acara ‘Mbaba manuk mbur man anak si natang tuah’. Dalam acara ini, kalimbubu atau puang kalimbubu akan memanjakan anak wanitanya dan atau menantunya dengan makanan istimewa dan bahkan pada waktu makan, mereka didahulukan dan setelah mereka kenyang barulah kalimbubu dan puang kalimbubu yang makan. Ini tidak akan terjadi pada acara-acara lain, karena yang diistimewakan selalu kalimbubu.

Ketika anak yang lahir adalah laki-laki (calon anak beru), maka yang menyiapkan kain panjang dan acara potong rambut ke sungai, semuanya dibiayai oleh pihak kalimbubu. Begitu juga ketika si anak bertumbuh besar, maka mamanya (saudara laki-laki ibunya) akan memanjakannya dengan berbagai sikap dan pemberian. Tidak jarang bahwa seorang anak mendapatkan kasih sayang lebih dari mamanya daripada dari ayahnya sendiri.

Itulah sebabnya, ketika seorang anak laki-laki menikah tidak dengan putri mamanya, maka ia akan dibawa orangtuanya untuk menghadap keluarga mamanya dengan membawa makanan lengkap untuk meminta maaf. Dalam acara itu juga, anak laki-laki itu akan memohon kepada mamanya untuk menganggap calon istrinya sama dengan putri mamanya.

Kenyataan yang kita lihat sekarang ialah bahwa tanggung jawab kalimbubu itu sudah jarang dilakukan dan bila dilakukan pun hanya bersifat simbolik yang tidak bermakna. Adalah tidak mudah bagi seorang laki-laki diminta untuk menghormati dan membela mamanya padahal sepanjang hidupnya tidak merasakan suatu kebaikan pun dari mamanya atau bahkan tidak jarang yang didengar dan dialaminya ialah kekurangbaikan yang dilakukan mamanya terhadap orangtuanya atau terhadap dirinya sendiri.

Di tengah keluarga besar kami sendiri, ada seorang impal saya (ibunya adalah kakak ayah saya) yang secara verbal menyatakan mengundurkan diri sebagai anak beru ayah saya. Waktu itu, saya diminta ayah saya mendatangi abang saya itu untuk mempersiapkan satu acara keluarga. Akan tetapi, abang itu mengatakan kepada saya ketidaksediaannya. Dia tidak mengatakan banyak, tetapi saya tahu banyak ketidakbaikan yang diperolehnya dari keluarga ayah saya (dalam relasi di luar adat, misalnya bantuan ekonomi dan lain-lain). Sebenarnya, bukan hanya abang itu yang mengundurkan diri, tetapi yang abang-abang lain lakukan ialah mengendurkan diri dari keterlibatan dalam acara-acara keluarga besar kami. Saya sangat bisa mengerti dan juga menyesalkan mengapa keluarga besar ayah saya kurang metami kepada anak-anak berunya.

 

Metenget Man Senina

Metenget berarti memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Senina adalah saudara-saudara sepupu ayah, sepupu kakek, sepupu ibu, dan seterusnya. Fungsi senina di dalam satu acara adat adalah pelaku atau yang berhajat dalam acara adat tersebut.  Misalnya, kalau saya menikahkan anak saya, maka yang menjadi bapak anak saya dalam adat bukan saya lagi, melainkan senina saya yang mewakili saya. Oleh karena itu, peranan senina dalam acara adat sangat penting.

Menurut saya, paling tidak, ada dua hal yang harus diperhatikan oleh seseorang terhadap seninanya.

Satu, metenget terhadap acara-acara adat yang dilakukan oleh seninanya. Bila ada undangan ataupun tidak ada undangan, maka seseorang harus proaktif terhadap keadaan seninanya. Bila seninanya di satu acara adat berperan sebagai anak beru, maka orang yang bersangkutan harus pula menempatkan diri sebagai anak beru untuk menopang seninanya. Bila tidak ada kepedulian, maka inilah yang akan mengendurkan keterlibatan seninanya dalam acara adat yang dilakukannya pada suatu waktu nanti.

Dua, metenget terhadap keadaan hidup senina. Tempat tinggal yang berjauhan dan keadaan hidup yang berlainan tidaklah dapat menjadi alasan untuk tidak metenget terhadap senina. Tentu, tingkat perhatian tidak mesti tinggi dalam kuantitas, tetapi harus bermutu dalam kualitas. Misalnya, bila senina sakit atau menghadapi musibah, maka seorang senina harus tampil atau hadir memberikan dukungan moral atau dukungan material. Bila senina menghadapi masalah, apapun bentuknya, maka seorang senina pun harus hadir memberikan dukungan. Demikian pula bila seorang senina memulai usaha atau menjalankan usahanya, maka alangkah indahnya bila seninanya juga terlibat memberikan bantuan ataupun dukungan.

Biasanya, orang-orang Karo ‘menumpangkan’ anaknya atau anak-anaknya yang akan sekolah atau mencari kerja di rumah saudara yang dipandang memiliki kemampuan untuk membantu. Bila yang meminta tumpangan itu adalah senina, maka pada tempatnyalah seninanya memberikan bantuan yang dibutuhkan. Dengan kehadiran anak seninanya di rumahnya, maka hubungan perseninaan akan semakin bermakna.

Yang tidak boleh terjadi atau yang harus diindari ialah merugikan, menyepelekan, ataupun menyakiti hati senina. Perbuatan merugikan dapat terjadi pada waktu pembagian harta warisan ataupun dalam usaha bersama yang dilakukan. Tindakan menyepelekan dapat terjadi bila seorang senina kaya atau berjabatan, sedangkan seninanya yang lain tidak kaya dan tidak berjabatan. Penyepelean dapat juga terjadi bila seorang senina dalam adat perannya di bawah senina yang lain (karena orangtuanya lebih muda atau karena dirinya sendiri bukan anak tertua) tetapi karena jabatan dan hartanya ia bertindak sebagai yang tertua. Menyakiti hati bisa terjadi karena banyak hal; bisa karena perkataan, bisa karena perbuatan, dan bisa juga karena sikap. Perbuatan menyakiti hati ini harus dijauhkan. Orang Karo memiliki filsafat hidup yang dalam ‘adi lenga ngasup nampati, ula ka gia nampeti’ artinya ialah kalau seseorang belum bisa berbuat baik terhadap seninanya, maka paling tidak dia harus sanggup tidak menyakiti hati seninanya.

 

Mehamat Man Kalimbubu

Mehamat adalah sikap hormat, tidak lancang dan tidak sembarangan. Kalimbubu adalah keluarga laki-laki dari pengambil wanita yang tentunya dalam cakupan yang sangat luas. Kalimbubu saya ialah kalimbubu senina saya, kalimbubu ayah saya, kalimbubu kakek saya, dan seterusnya. Mehamat ini diperlihatkan dalam setiap acara-acara adat dan juga dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam setiap acara adat, maka bentuk penghormatan kepada kalimbubu ialah penempatan tempat duduk mereka dan alas duduk mereka yang dikhususkan. Demikian juga pada saat makan. Makanan dihidangkan mulai dari kalimbubu baru ke senina dan ke anak beru. Demikian pula dengan acara. Kalimbubu akan dimintai pendapat dan bahkan kata putus tentang acara dianggap milik kalimbubu.

Mehamat kepada kalimbubu diperlihatkan juga dalam menyukseskan acara adat yang dilakukan oleh kalimbubu. Anak beru akan berusaha habis-habisan untuk menyukseskan acara adat kalimbubu. Bila terjadi sesuatu yang tidak baik, maka yang paling bertanggung jawab dan yang merasa paling malu adalah anak beru.

Tidak jarang dalam acara adat, bila terdapat kekurangan biaya, maka anak beru akan menutupinya dengan uang mereka sendiri. Tujuannya adalah supaya kalimbubu mereka tampak dihormati dan tidak dipermalukan.

Kalimbubu adalah roh dan jiwa anak beru. Bila anak beru mengadakan acara adat dan kalimbubu belum hadir, maka acara tidak akan dimulai. Kalimbubu akan dijemput dan diundang ke dalam acara supaya acara dapat dimulai.

Demikian pula dengan kehidupan sehari-hari. Anak beru akan selalu menempatkan dirinya sebagai pribadi yang menghormati kalimbubu. Hal ini memang terkadang gamang dalam pelaksanaannya. Misalnya, seorang anak beru naik bis umum yang supirnya adalah kalimbubunya. Biasanya, orang tersebut akan merasa risih menempatkan dirinya. Saya sendiri pernah melihat seorang anak beru yang masuk ke restoran yang pemilik dan pelayannya adalah kalmbubunya. Maka kata istri anak beru itu, “Katakan man turangku ena maka pegawe e saja si ngelai kita.” Akhirnya, pemilik restoran itu menyuruh pegawainya yang melayani anak berunya tersebut. Hal-hal ini bukanlah masalah yang pelik, karena dapat diatasi tanpa menghilangkan sikap hormat terhadap kalimbubu.

Akan tetapi, sikap hormat inilah yang mulai berkurang. Saya pernah mendengar langsung abang saya, anak dari saudara sepupu perempuan ayah saya, “Mama ena, adi kukuta ula min sitik ngenca mbaba wajit peceren e, la bias pe man sada kesain.” Ini jelas sikap yang kurang hormat, karena ayah saya membawa makanan kecil lebih daripada cukup untuk keluarga besar, tetapi abang saya itu memang suka memperlihatkan sikap yang kurang hormat kepada siapa saja. Yang lebih menyedihkan saya bahwa sikap seperti itu bukan hanya ditunjukkan oleh abang saya, tetapi oleh banyak bebere terhadap mamanya.

Yang paling tragis juga ialah ketika anak beru mengganti kalimbubunya. Ini adalah kisah nyata yang terjadi tidak hanya sekali dua kali di tengah-tengah masyarakat Karo. Pada satu keluarga yang menikahkan anak wanitanya, maka si ngalo ulu emas (mama kandung pengantin wanita) harus hadir untuk mengesahkan pesta adat itu. Akan tetapi, karena kalimbubunya bukan orang hebat dan juga karena ada sedikit masalah maka anak beru itu berani mengganti kalimbubunya yang tidak semarga dengan bebere (marga ibu) pengantin wanita tetapi orang yang berjabatan dan terhormat.

Ajaran Tuhan Yesus Memulihkan Budaya

Ajaran Tuhan Yesus yang dapat memulihkan kembali sikap masyarakat Karo yang mengendur dalam hubungan kekerabatan ialah perubahan sikap hidup dan penerapan kasih.

Dalam Roma 12: 2, Firman Tuhan menekankan supaya setiap orang percaya mengalami pembaruan budi; pembaruan paradigma, pembaruan mental, pembaruan sikap, dan pembaruan tindakan. Hal ini mungkin terjadi bila seseorang mengalami pembaruan langsung dari Tuhan Yesus dan dijadikan manusia baru atau ciptaan yang baru (II Kor. 5: 17).

Dengan pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu, maka seorang Kristen Karo akan dimampukan untuk metami man anak baru, metenget man senina, dan mehamat man kalimbubu.

Dalam Matius 22: 39, Tuhan Yesus mengajarkan kepada setiap orang percaya untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Kasih dalam konteks ajaran Kristen mengandung paling tidak dua hal. Satu, nilai dan dua, kemampuan.

Kasih adalah nilai terbaik. Kasih adalah standar kebaikan. Bila kita bisa merasakan pemberian orang lain kepada kita adalah sesuatu yang menyenangkan, maka kita pun menjadi tahu bahwa hal yang sama bila kita lakukan kepada orang lain, maka orang lain pun akan merasa senang. Oleh karena itu, kasih itu menghindari kebohongan dan kemunafikan. Kasih itu mendorong kita untuk berbuat yang baik dan yang terbaik kepada setiap orang.

Kasih itu adalah kemampuan. Yang dimaksudkan dengan kemampuan ialah kesiapan untuk menerima kewajiban dan kesiapan untuk kehilangan hak. Kasih itu memampukan seorang kalimbubu untuk berbuat baik kepada anak berunya walaupun anak berunya kurang mehamat kepada dirinya. Kasih itu memampukan seorang anak beru untuk hormat kepada kalimbubunya walaupun kalimbubunya kurang metami kepada dirinya.

Bila ajaran Tuhan Yesus menjadi jiwa dari hubungan kekerabatan masyarakat Karo, maka tidak akan ada lagi ketakutan kalimbubunya bahwa anak berunya akan mempermainkannya dan tidak ada ketakutan anak beru bahwa kalimbubunya tidak metami atau tidak memberi kepadanya.

Kesimpulan

Sebenarnya, adat adalah satu bagian dan fungsi kehidupan adalah bagian lain. Keduanya memang berbeda, tetapi saling berkaitan dan bahkan memiliki hubungan kausal. Adat terutama mengaturkan seremoni atau upacara budaya, sedangkan sistem dunia punya aturan sendiri. Misalnya, pemilik kedai kopi harus melayani pengunjungnya dengan baik, termasuk bila pengunjung itu adalah anak berunya. Bila seorang kalimbubu berbuat kurang baik kepada anak berunya, misalnya tidak membantu pengobatan ketika anak berunya sakit misalnya, maka itu dapat berdampak pada partisipasi anak berunya dalam acara adat kalibubunya.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan keharmonisan, maka setiap orang harus berbuat baik; baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa berbuat baik, maka setiap kita membutuhkan kasih Kristus dan kuasa Roh Kudus. Dengan cara itulah maka kita dapat menjadi berkat dalam kehidupan kita di tengah-tengah masyarakat Karo. Tuhan Yesus memberkati kita semua. (esg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar