Metami,
Metenget, ras Mehamat : Dasar Hubungan Kekerabatan Masyarakat Karo
(Edi Suranta
Ginting)
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Pendahuluan
Sudah cukup lama saya mendengar
bahwa sudah terjadi pergeseran sikap masyarakat Karo, khususnya dalam pelaksanaan
acara pesta adat. Beberapa teman yang berkunjung ke kampung halaman mengeluhkan
sikap anak beru mereka dengan mengatakan, “Keri kita ban anak berunta ndai.”
Yang lain lagi mengatakan, “Labo terjeng keri, tapi melakal siakap ban anak
berunta e.” Teman-teman ini merasa dirugikan dan dipermalukan karena pada waktu
persiapan pesta sudah disediakan cukup banyak daging untuk menjadi gulai pesta,
tetapi pada saat makan, ternyata konsumsi tidak cukup.
Itulah sebabnya, beberapa orang
merasa adanya ‘catering’ sebagai solusi. “Gundari enggo sikap. Enggo lit
‘catering’ maka lanai kita mbiar terluda. Anak beru e pe lanai pang
macam-macam,” kata beberapa orang Karo yang ada di Medan sekitarnya dan kata
orang-orang Karo yang berkunjung ke kampung untuk urusan pesta adat.
Karena penasaran dengan hal itu,
suatu kali, ketika ada acara adat di Medan, saya memang merasakan kurangnya
keterlibatan anak beru dalam mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan acara adat yang saya ikuti. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan, saya
bertanya kepada seseorang yang rajin dalam mengikuti acara-acara adat, “O Bang,
kubegi beritana maka bas kutanta enda enggo mesera kal muat anak beru guna
nampati kerja?”
“Bagekin, lanai bo terarapken
gundari enda anak beru ngelakoken kerja,” jawabnya dengan wajah yang agak
prihatin.
Saya bertanya lagi, “Engkai
akapndu maka bage?”
“Perban kalimbubu e la mehuli man
anak beruna.”
“Tapi kuidah kam la erleja-leja
ndahiken kerja i jabu mama enda,” tanya saya lagi karena memang saya melihat
dan banyak orang juga mengakui bahwa dia dan istrinya sangat bertanggung jawab
dalam melaksanakan acara-acara di tengah-tengah keluarga yang kami bersama-sama
sebagai anak beru.
“Mama enda nai seh kap ulina man
kami, enge erbahanca maka kami pe ras kakandu lo ngadi-ngadi ndahiken kerja
kalimbubunta e.”
Dari pengamatan dan diskusi di
atas, saya melihat bahwa pergeseran sikap orang Karo dalam pelaksanaan acara
adat adalah karena ‘mencairnya’ hubungan antarsaudara di tengah-tengah
masyarakat Karo. Padahal, di balik tugas dan tanggung jawab acara adat, leluhur
kita yang sangat arif dan bijaksana telah merumuskan ‘roh atau spirit’ yang
harus mewarnai hubungan itu dengan ungkapan metami man anak beru, metenget ersenina, ras mehamat erkalimbubu.
Bagian inilah yang akan saya bahas di bawah ini dan bagaimana ajaran Tuhan
Yesus dapat mengisi spirit itu, sehingga relasi sosial orang Karo dapat
dipulihkan bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus dan kejayaan masyarakat Karo di
tengah-tengah masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia.
Metami Man Anak Beru
Kata metami secara harafiah
berarti memanjakan. Biasanya, kata ini dipakai pada orangtua yang memperlakukan
anak-anaknya dengan sangat baik. Atau juga, sikap seseorang yang suka memberi
kepada orang lain. Setahu saya, kata metami berkaitan dengan tindakan yang suka
memberi; memberi perhatian atau memberi sesuatu kepada orang lain.
Anak beru bukanlah anak
perempuan, melainkan orang atau keluarga yang mengambil anak perempuan. Oleh
karena itu, keluarga laki-laki harus metami kepada keluarga yang mengambil anak
perempuan mereka. Kalau kita perhatikan istilah ‘Dibata Niidah’ yang
disampaikan oleh anak beru kepada kalimbubunya, itu adalah karena kalimbubu
menjadi sumber kehidupan bagi mereka. Kalimbubu yang memberi wanita (yang
melahirkan generasi baru), tanah (tempat tinggal dan tempat berusaha), benih
tanaman dan benih unggas (modal usaha), tempat tidur, alat masak, parang, cangkul
(sarana untuk menunjang kehidupan yang lebih baik).
Leluhur kita memberi tugas metami
kepada anak beru mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Satu, karena
kalimbubu yang empunya tanah dan kekayaan, sedangkan anak beru adalah pendatang
ke kampung kalimbubu. Kedua, supaya anak beru menyayangi anak wanita yang
mereka kasihi. Ketiga, supaya anak beru kuat untuk menjadi penolong, pembela,
dan penopang keluarga kalimbubunya.
Sikap metami kepada anak beru
sudah diperlihatkan sejak dini. Misalnya, seorang wanita yang sedang hamil 7
bulan yang akan diupacarai oleh kalimbubu dengan acara ‘Mbaba manuk mbur man
anak si natang tuah’. Dalam acara ini, kalimbubu atau puang kalimbubu akan
memanjakan anak wanitanya dan atau menantunya dengan makanan istimewa dan bahkan
pada waktu makan, mereka didahulukan dan setelah mereka kenyang barulah
kalimbubu dan puang kalimbubu yang makan. Ini tidak akan terjadi pada
acara-acara lain, karena yang diistimewakan selalu kalimbubu.
Ketika anak yang lahir adalah
laki-laki (calon anak beru), maka yang menyiapkan kain panjang dan acara potong
rambut ke sungai, semuanya dibiayai oleh pihak kalimbubu. Begitu juga ketika si
anak bertumbuh besar, maka mamanya (saudara laki-laki ibunya) akan
memanjakannya dengan berbagai sikap dan pemberian. Tidak jarang bahwa seorang
anak mendapatkan kasih sayang lebih dari mamanya daripada dari ayahnya sendiri.
Itulah sebabnya, ketika seorang
anak laki-laki menikah tidak dengan putri mamanya, maka ia akan dibawa
orangtuanya untuk menghadap keluarga mamanya dengan membawa makanan lengkap
untuk meminta maaf. Dalam acara itu juga, anak laki-laki itu akan memohon
kepada mamanya untuk menganggap calon istrinya sama dengan putri mamanya.
Kenyataan yang kita lihat
sekarang ialah bahwa tanggung jawab kalimbubu itu sudah jarang dilakukan dan
bila dilakukan pun hanya bersifat simbolik yang tidak bermakna. Adalah tidak
mudah bagi seorang laki-laki diminta untuk menghormati dan membela mamanya
padahal sepanjang hidupnya tidak merasakan suatu kebaikan pun dari mamanya atau
bahkan tidak jarang yang didengar dan dialaminya ialah kekurangbaikan yang
dilakukan mamanya terhadap orangtuanya atau terhadap dirinya sendiri.
Di tengah keluarga besar kami
sendiri, ada seorang impal saya (ibunya adalah kakak ayah saya) yang secara verbal
menyatakan mengundurkan diri sebagai anak beru ayah saya. Waktu itu, saya
diminta ayah saya mendatangi abang saya itu untuk mempersiapkan satu acara
keluarga. Akan tetapi, abang itu mengatakan kepada saya ketidaksediaannya. Dia
tidak mengatakan banyak, tetapi saya tahu banyak ketidakbaikan yang
diperolehnya dari keluarga ayah saya (dalam relasi di luar adat, misalnya
bantuan ekonomi dan lain-lain). Sebenarnya, bukan hanya abang itu yang
mengundurkan diri, tetapi yang abang-abang lain lakukan ialah mengendurkan diri
dari keterlibatan dalam acara-acara keluarga besar kami. Saya sangat bisa
mengerti dan juga menyesalkan mengapa keluarga besar ayah saya kurang metami
kepada anak-anak berunya.
Metenget Man Senina
Metenget berarti memperhatikan
dengan sungguh-sungguh. Senina adalah saudara-saudara sepupu ayah, sepupu
kakek, sepupu ibu, dan seterusnya. Fungsi senina di dalam satu acara adat
adalah pelaku atau yang berhajat dalam acara adat tersebut. Misalnya, kalau saya menikahkan anak saya, maka
yang menjadi bapak anak saya dalam adat bukan saya lagi, melainkan senina saya
yang mewakili saya. Oleh karena itu, peranan senina dalam acara adat sangat
penting.
Menurut saya, paling tidak, ada
dua hal yang harus diperhatikan oleh seseorang terhadap seninanya.
Satu, metenget terhadap
acara-acara adat yang dilakukan oleh seninanya. Bila ada undangan ataupun tidak
ada undangan, maka seseorang harus proaktif terhadap keadaan seninanya. Bila
seninanya di satu acara adat berperan sebagai anak beru, maka orang yang bersangkutan
harus pula menempatkan diri sebagai anak beru untuk menopang seninanya. Bila
tidak ada kepedulian, maka inilah yang akan mengendurkan keterlibatan seninanya
dalam acara adat yang dilakukannya pada suatu waktu nanti.
Dua, metenget terhadap keadaan
hidup senina. Tempat tinggal yang berjauhan dan keadaan hidup yang berlainan
tidaklah dapat menjadi alasan untuk tidak metenget terhadap senina. Tentu,
tingkat perhatian tidak mesti tinggi dalam kuantitas, tetapi harus bermutu
dalam kualitas. Misalnya, bila senina sakit atau menghadapi musibah, maka
seorang senina harus tampil atau hadir memberikan dukungan moral atau dukungan
material. Bila senina menghadapi masalah, apapun bentuknya, maka seorang senina
pun harus hadir memberikan dukungan. Demikian pula bila seorang senina memulai
usaha atau menjalankan usahanya, maka alangkah indahnya bila seninanya juga
terlibat memberikan bantuan ataupun dukungan.
Biasanya, orang-orang Karo
‘menumpangkan’ anaknya atau anak-anaknya yang akan sekolah atau mencari kerja
di rumah saudara yang dipandang memiliki kemampuan untuk membantu. Bila yang
meminta tumpangan itu adalah senina, maka pada tempatnyalah seninanya
memberikan bantuan yang dibutuhkan. Dengan kehadiran anak seninanya di
rumahnya, maka hubungan perseninaan akan semakin bermakna.
Yang tidak boleh terjadi atau
yang harus diindari ialah merugikan, menyepelekan, ataupun menyakiti hati
senina. Perbuatan merugikan dapat terjadi pada waktu pembagian harta warisan
ataupun dalam usaha bersama yang dilakukan. Tindakan menyepelekan dapat terjadi
bila seorang senina kaya atau berjabatan, sedangkan seninanya yang lain tidak
kaya dan tidak berjabatan. Penyepelean dapat juga terjadi bila seorang senina
dalam adat perannya di bawah senina yang lain (karena orangtuanya lebih muda atau
karena dirinya sendiri bukan anak tertua) tetapi karena jabatan dan hartanya ia
bertindak sebagai yang tertua. Menyakiti hati bisa terjadi karena banyak hal;
bisa karena perkataan, bisa karena perbuatan, dan bisa juga karena sikap. Perbuatan
menyakiti hati ini harus dijauhkan. Orang Karo memiliki filsafat hidup yang
dalam ‘adi lenga ngasup nampati, ula ka gia nampeti’ artinya ialah kalau
seseorang belum bisa berbuat baik terhadap seninanya, maka paling tidak dia
harus sanggup tidak menyakiti hati seninanya.
Mehamat Man Kalimbubu
Mehamat adalah sikap hormat,
tidak lancang dan tidak sembarangan. Kalimbubu adalah keluarga laki-laki dari
pengambil wanita yang tentunya dalam cakupan yang sangat luas. Kalimbubu saya
ialah kalimbubu senina saya, kalimbubu ayah saya, kalimbubu kakek saya, dan
seterusnya. Mehamat ini diperlihatkan dalam setiap acara-acara adat dan juga
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap acara adat, maka
bentuk penghormatan kepada kalimbubu ialah penempatan tempat duduk mereka dan
alas duduk mereka yang dikhususkan. Demikian juga pada saat makan. Makanan
dihidangkan mulai dari kalimbubu baru ke senina dan ke anak beru. Demikian pula
dengan acara. Kalimbubu akan dimintai pendapat dan bahkan kata putus tentang
acara dianggap milik kalimbubu.
Mehamat kepada kalimbubu
diperlihatkan juga dalam menyukseskan acara adat yang dilakukan oleh kalimbubu.
Anak beru akan berusaha habis-habisan untuk menyukseskan acara adat kalimbubu.
Bila terjadi sesuatu yang tidak baik, maka yang paling bertanggung jawab dan
yang merasa paling malu adalah anak beru.
Tidak jarang dalam acara adat,
bila terdapat kekurangan biaya, maka anak beru akan menutupinya dengan uang
mereka sendiri. Tujuannya adalah supaya kalimbubu mereka tampak dihormati dan
tidak dipermalukan.
Kalimbubu adalah roh dan jiwa
anak beru. Bila anak beru mengadakan acara adat dan kalimbubu belum hadir, maka
acara tidak akan dimulai. Kalimbubu akan dijemput dan diundang ke dalam acara
supaya acara dapat dimulai.
Demikian pula dengan kehidupan
sehari-hari. Anak beru akan selalu menempatkan dirinya sebagai pribadi yang
menghormati kalimbubu. Hal ini memang terkadang gamang dalam pelaksanaannya.
Misalnya, seorang anak beru naik bis umum yang supirnya adalah kalimbubunya.
Biasanya, orang tersebut akan merasa risih menempatkan dirinya. Saya sendiri
pernah melihat seorang anak beru yang masuk ke restoran yang pemilik dan
pelayannya adalah kalmbubunya. Maka kata istri anak beru itu, “Katakan man
turangku ena maka pegawe e saja si ngelai kita.” Akhirnya, pemilik restoran itu
menyuruh pegawainya yang melayani anak berunya tersebut. Hal-hal ini bukanlah
masalah yang pelik, karena dapat diatasi tanpa menghilangkan sikap hormat
terhadap kalimbubu.
Akan tetapi, sikap hormat inilah
yang mulai berkurang. Saya pernah mendengar langsung abang saya, anak dari
saudara sepupu perempuan ayah saya, “Mama ena, adi kukuta ula min sitik ngenca
mbaba wajit peceren e, la bias pe man sada kesain.” Ini jelas sikap yang kurang
hormat, karena ayah saya membawa makanan kecil lebih daripada cukup untuk
keluarga besar, tetapi abang saya itu memang suka memperlihatkan sikap yang
kurang hormat kepada siapa saja. Yang lebih menyedihkan saya bahwa sikap
seperti itu bukan hanya ditunjukkan oleh abang saya, tetapi oleh banyak bebere
terhadap mamanya.
Yang paling tragis juga ialah
ketika anak beru mengganti kalimbubunya. Ini adalah kisah nyata yang terjadi
tidak hanya sekali dua kali di tengah-tengah masyarakat Karo. Pada satu
keluarga yang menikahkan anak wanitanya, maka si ngalo ulu emas (mama kandung
pengantin wanita) harus hadir untuk mengesahkan pesta adat itu. Akan tetapi,
karena kalimbubunya bukan orang hebat dan juga karena ada sedikit masalah maka
anak beru itu berani mengganti kalimbubunya yang tidak semarga dengan bebere
(marga ibu) pengantin wanita tetapi orang yang berjabatan dan terhormat.
Ajaran Tuhan Yesus Memulihkan Budaya
Ajaran Tuhan Yesus yang dapat
memulihkan kembali sikap masyarakat Karo yang mengendur dalam hubungan
kekerabatan ialah perubahan sikap hidup dan penerapan kasih.
Dalam Roma 12: 2, Firman Tuhan
menekankan supaya setiap orang percaya mengalami pembaruan budi; pembaruan
paradigma, pembaruan mental, pembaruan sikap, dan pembaruan tindakan. Hal ini
mungkin terjadi bila seseorang mengalami pembaruan langsung dari Tuhan Yesus
dan dijadikan manusia baru atau ciptaan yang baru (II Kor. 5: 17).
Dengan pembaruan yang dikerjakan
oleh Roh Kudus itu, maka seorang Kristen Karo akan dimampukan untuk metami man
anak baru, metenget man senina, dan mehamat man kalimbubu.
Dalam Matius 22: 39, Tuhan Yesus
mengajarkan kepada setiap orang percaya untuk mengasihi sesama manusia seperti
mengasihi diri sendiri. Kasih dalam konteks ajaran Kristen mengandung paling
tidak dua hal. Satu, nilai dan dua, kemampuan.
Kasih adalah nilai terbaik. Kasih
adalah standar kebaikan. Bila kita bisa merasakan pemberian orang lain kepada
kita adalah sesuatu yang menyenangkan, maka kita pun menjadi tahu bahwa hal
yang sama bila kita lakukan kepada orang lain, maka orang lain pun akan merasa
senang. Oleh karena itu, kasih itu menghindari kebohongan dan kemunafikan.
Kasih itu mendorong kita untuk berbuat yang baik dan yang terbaik kepada setiap
orang.
Kasih itu adalah kemampuan. Yang
dimaksudkan dengan kemampuan ialah kesiapan untuk menerima kewajiban dan
kesiapan untuk kehilangan hak. Kasih itu memampukan seorang kalimbubu untuk
berbuat baik kepada anak berunya walaupun anak berunya kurang mehamat kepada
dirinya. Kasih itu memampukan seorang anak beru untuk hormat kepada
kalimbubunya walaupun kalimbubunya kurang metami kepada dirinya.
Bila ajaran Tuhan Yesus menjadi
jiwa dari hubungan kekerabatan masyarakat Karo, maka tidak akan ada lagi
ketakutan kalimbubunya bahwa anak berunya akan mempermainkannya dan tidak ada
ketakutan anak beru bahwa kalimbubunya tidak metami atau tidak memberi
kepadanya.
Kesimpulan
Sebenarnya, adat adalah satu
bagian dan fungsi kehidupan adalah bagian lain. Keduanya memang berbeda, tetapi
saling berkaitan dan bahkan memiliki hubungan kausal. Adat terutama mengaturkan
seremoni atau upacara budaya, sedangkan sistem dunia punya aturan sendiri.
Misalnya, pemilik kedai kopi harus melayani pengunjungnya dengan baik, termasuk
bila pengunjung itu adalah anak berunya. Bila seorang kalimbubu berbuat kurang
baik kepada anak berunya, misalnya tidak membantu pengobatan ketika anak
berunya sakit misalnya, maka itu dapat berdampak pada partisipasi anak berunya
dalam acara adat kalibubunya.
Oleh karena itu, untuk
mendapatkan keharmonisan, maka setiap orang harus berbuat baik; baik dalam
acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa berbuat baik, maka
setiap kita membutuhkan kasih Kristus dan kuasa Roh Kudus. Dengan cara itulah
maka kita dapat menjadi berkat dalam kehidupan kita di tengah-tengah masyarakat
Karo. Tuhan Yesus memberkati kita semua. (esg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar